Proyek strategis nasional Rempang Eco City di Pulau Rempang, Batam, terus menjadi sorotan. Konflik antara masyarakat adat dan pemerintah terkait rencana relokasi telah memanas, bahkan berujung pada bentrokan. Di tengah ketegangan ini, Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, secara mengejutkan menyebut adanya keterlibatan pihak asing dalam memicu kericuhan. Tuduhan ini menambah kompleksitas permasalahan yang sudah ada.
Kontroversi Rempang Eco City bermula dari rencana pengembangan kawasan industri dan pariwisata terpadu seluas 17.000 hektar. Proyek ini, yang melibatkan investasi besar, termasuk dari produsen kaca asal Tiongkok, Xinyi Group, membutuhkan relokasi 16 kampung tua yang telah dihuni masyarakat Melayu Tua secara turun-temurun selama berabad-abad. Konflik hak tanah menjadi inti permasalahan.
Bahlil Lahadalia mengklaim bahwa setiap kali ada investasi besar di Kepulauan Riau, selalu ada pihak-pihak yang mencoba menghalanginya. Ia secara implisit menuding adanya campur tangan asing, tanpa menyebut nama negara secara spesifik. Menurutnya, Rempang Eco City ini dipandang sebagai bagian dari persaingan global, di mana beberapa pihak tidak ingin Indonesia maju.
Tudingan keterlibatan asing dalam konflik Rempang Eco City ini memicu berbagai reaksi. Beberapa pihak mendukung pernyataan Bahlil, menganggapnya sebagai upaya untuk mengamankan investasi nasional. Namun, banyak juga yang mengkritik, menyoroti bahwa masalah utamanya adalah sengketa lahan, hak adat, dan kurangnya dialog partisipatif dengan masyarakat lokal.
Pemerintah berdalih bahwa proyek Rempang Eco-City adalah untuk kepentingan nasional yang lebih besar, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya saing ekonomi. Namun, masyarakat menolak direlokasi dengan alasan kuat: tanah di Rempang adalah warisan leluhur yang memiliki nilai historis dan spiritual yang tak tergantikan, bukan sekadar aset ekonomi.
Upaya penyelesaian konflik Rempang Eco-City masih terus berjalan. Pemerintah telah menawarkan skema relokasi dengan kompensasi berupa rumah dan lahan baru di Tanjung Banon. Namun, sebagian besar warga masih menolak, menuntut pengakuan hak atas tanah adat dan keberlanjutan hidup mereka yang bergantung pada laut.
Penting bagi semua pihak untuk kembali ke meja perundingan dengan kepala dingin. Solusi berkelanjutan untuk Rempang Eco City harus mengedepankan hak-hak masyarakat adat, memastikan keadilan sosial, dan menjaga kelestarian lingkungan. Investasi seharusnya membawa kemajuan tanpa mengorbankan budaya dan kesejahteraan masyarakat lokal.