Satu Aturan untuk Semua: Mengapa Omnibus Law Mengubah Banyak Undang-Undang Sekaligus

Omnibus Law telah menjadi salah satu topik paling ramai diperbincangkan di Indonesia. Inti dari konsep ini adalah menciptakan satu payung hukum yang mencakup perubahan pada puluhan, bahkan ratusan undang-undang yang sudah ada. Tujuan utamanya adalah menyederhanakan regulasi yang tumpang tindih dan memangkas birokrasi yang rumit. Konsep ini menjanjikan efisiensi dan kecepatan.

Pemerintah mengklaim bahwa sistem regulasi yang berbelit-belit telah menjadi penghambat utama investasi. Dengan adanya Omnibus Law, proses perizinan yang sebelumnya membutuhkan waktu lama dapat dipangkas secara signifikan. Tujuannya adalah untuk menarik investor, baik domestik maupun asing, agar lebih mudah berbisnis dan menciptakan lapangan kerja.

Di Indonesia, konsep ini diimplementasikan melalui Undang-Undang Cipta Kerja. UU ini menjadi contoh nyata bagaimana satu Omnibus Law bisa menyentuh berbagai sektor, dari ketenagakerjaan, lingkungan, hingga perizinan berusaha. Cakupannya yang sangat luas inilah yang membuatnya mendapat julukan “satu aturan untuk semua”.

Namun, luasnya cakupan tersebut juga menimbulkan banyak kontroversi. Kelompok buruh, misalnya, menyoroti perubahan aturan terkait upah, pesangon, dan perjanjian kerja yang dianggap merugikan mereka. Mereka berpendapat bahwa UU ini justru melemahkan perlindungan hak-hak pekerja yang telah diatur dalam undang-undang sebelumnya.

Selain isu ketenagakerjaan, Omnibus Law juga menuai kritik dari pegiat lingkungan. Mereka mengkhawatirkan revisi aturan tentang analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang dianggap lebih longgar. Kekhawatiran ini muncul seiring dengan potensi kerusakan ekologis akibat kemudahan perizinan yang diberikan kepada investor.

Proses pembentukan UU Cipta Kerja juga menjadi sorotan. Banyak pihak menilai bahwa prosesnya tidak transparan dan minim partisipasi publik. Kritik ini berfokus pada kurangnya konsultasi yang mendalam dengan pihak-pihak terdampak, seperti serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil.

Mahkamah Konstitusi bahkan sempat menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena prosedur pembentukannya yang tidak memenuhi asas keterbukaan. Putusan ini menegaskan pentingnya proses legislasi yang terbuka dan partisipatif, di mana masyarakat memiliki kesempatan untuk menyampaikan masukan.